Pages

Kebersamaan dalam taqwa

Suatu ketika Rasulullah menjumpai seorang pemuda berambut gondrong dan acak-acakan. Nabi menampakkan wajah yang tidak senang.
Anak muda itu berfikir setiba di rumahnya. Mengapa Rasulullah _*"mermuka masam kepadaku? Apakah karena aku beramput panjang? Atau karena rambutku tidak teratur?"*_
Dalam penampilan berikutnya, meskipun tetap berambut gondrong, anak muda itu merapikan rambutnya supaya tidak berantakan.
Melihat keadaan itu, ketika berpapasan lagi, Rasulullah bahkan tersenyum manis dan menyejukkan perasaan. Sehingga pemuda itu dapat tidur dengan tenang.
Peristiwa ini sudah lama berlalu.



Kasusnya telah lewat.
Namun hikmahnya merupakan pedoman bagi kita dalam menempuh hidup bermasyarakat.
Bahwa hak asasi seseorang tidak dapat diganggu gugat.
Akan tetapi kewajiban mematuhi norma-norma yang telah disepakati sebagai ikatan sosial harus pula diperhatikan, agar tidak timbul kesenjangan yang merentang jarak antara pribadi dengan pribadi.
Menurut ajaran Rasulullah, manusia bukan semata-mata makhluk pribadi, malainkan makhluk sosial yang membutuhkan kebersamaan.
Tersirat dalam salah satu sabda beliau :
إِنَّ قَوْمًا رَاكِبُوْا سَفِيْنَةً فَاقْثَمُوْا فَصَارَ لِكُلٍّ مِنْهُمْ مَوْضِعًا. فَنَقَ رَجُلٌ مِنْهُمْ مَوْضِعُهُ بِفَأْسٍ. فَقَالُوْا ، مَاذَا تَضْنَعُ. فَقَالَ هٰذَا مَكَانِي ، أَصْنَعُ فِيْهِ مَا أَشَا. فَإِنْ أَخَذُوْا عَلىٰ يَدِهِ نَجَسْ وَ نَجَوْا. وَإِنْ تَرَكُوْهُ هَلَكَ وَهَلَكُوْا.
_*“Sesungguhnya masyarakat itu ibarat menaiki sebuah perahu yang sama. Masing-masing telah berbagi tempat sehingga memperoleh haknya sendiri-sendiri. Tiba-tiba ada salah satu penumpang yang melubangi tempatnya dengan kampak. Para penumpang lainnya lalu bertanya, “Apa yang kamu lakukan itu?” Dengan pongah ia menjawab, “Ini adalah tempat bagianku. Aku lakukan apa pun yang kusukai.” Maka apabila penumpang lain itu merampas kampaknya, selamatlah dia dan selamat pula mereka. Sedangkan jika ia dibiarkan saja melakukan perbuatannya, celakalah dia sebagaimana para penumpang lainnya pun ikut celaka.”*_
Marilah kita menekurkan kepala sambil mengucap syukur.
Sebab kemerdekaan yang kita dambakan selama berabad-abad, yang untuk itu darah para pahlawan telah bertaburan di sekujur Nusantara, kini telah mulai kita nikmati buahnya.
Atas jasa para pendahulu kita, atas pengorbanan mereka yang tulus ikhlas.
Puncak perjuangan fisik dalam upaya merebut dan mempertahankan kemerdekaan telah berlangsung tujuh dasa warsa yang lalu.
Tidak dengan untaian bunga dan upacara kebesaran tatkala angkatan Empat Lima  dilahirkan, tetapi dengan pemderitaan, kelaparan, dan ratap tangis rakyat di depan moncong meriam berdarah serta ancaman ganas kaum penjajah.
Berapa banyak diantara mereka yang terpaksa mati muda sebagai pahlawan yang tidak dikenal, yang andilnya begitu mulia tanpa pamrih apa-apa.
Mereka terjun ke medan laga hanya bermodalkan tekad dan semangat baja.
Hanya bangsa yang besar yang bisa menghargai jasa para pahlawannya.
Atas dasar itu kita sangat cenderung untuk merenungkan dan menghayati ucapan Nabi _Shallallahu ‘Alaihi Wasallam_ seperti diriwayatkan oleh Thabrani :
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَلَمْ يَعْرِفْ حَقَّ كَبِيْرَنَا.
_*“Bukanlah golonganku orang yang tidak mengasihi kawula muda dan tidak mengindahkan hak kaum tua.”*_
Pesan yang pedas ini perlu kita perhatikan dan kita sunting untuk membina kesinambungan perjuangan.
Terutama dalam rangka menjembatani yang telah dan akan berlalu, dengan para penerus yang harus mengemban amanah.
Matahari yang membakar para pejuang Angkatan Empat Lima masih tetap bersitegar di poros langit. Akan tetapi generasi mulai berganti.
Barangkali kita yang lahir kemudian belum mampu membalas jasa yang sepadan dengan pengorbanan mereka.
Barangkali kita hanya melambaikan tangan dengan ucapan sendu, _*“Selamat Jalan”*_
Karena para pendahulu kita tidak berjuang untuk mendapatkan penghormatan dan kehidmatan semu.
Mereka cuma akan berbahagia jika generasi penerusnya dapat mewarisi nilai-nilai Empat Lima yang telah mereka amanatkan.
Tidak dengan 21 kali tembakan meriam dalam upacara-upacara resmi tetapi lewat pengabdian yang sejati bagi negeri dan bangsa ini.
Langkah ke sana telah dirambah.
Jalan ke sana telah disiangi.
Sekarang kita hanya meneruskan dan tidak bergeser meski apapun yang terjadi.
Dalam asas yang sudah kita sepakati.
Hanya itulah yang paling selamat untuk mencapai cita-cita kemerdekaan yang dapat menjamin terpeliharanya persatuan dan kesatuan dalam kebhinnekaan, dan menyeimbangkan kesejahteraan material dan spiritual dalam laju kiprah pembangunan, serta dapat menjadi neraca dalam membumikan keadilan dan kejujuran.
Bila semua itu terlaksana, akan tercapailah suasana kehidupan bangsa seperti yang digambarkan oleh Rasulullah dalam hadistnya :
لَوْ كَانَ أُمَرَآءُكُمْ أَخْيَارَكُمْ وَأَغْنِيَآءُكُمْ أَصْحِيَآءُكُمْ وَأَمْرَكُمْ شُوْرٰى بَيْنَكُمْ ، فَظَهْرُ الْأَرْضِ خَيْرٌ مِنْ بَطْنِهَا.
_*“Kalau pemimpin-pemimpin kamu adalah yang terbaik diantaramu. Kalau para hartawanmu adalah yang paling dermawan dari kalanganmu. Kalau urusanmu diselesaikan dengan musyawarah di antara sesama kamu. Maka hidup di muka bumi jauh lebih baik dari pada di bawahnya.”*_
Bukalah cakrawala kebersamaan seperti itu yang tengah kita tuju?
Terpujilah nama Allah dengan segala kurnianya.

Mas Tama

Instagram